Sabtu, 08 Mei 2010

Cigarette

Ia menghisap lagi rokok yang terjepit di jarinya. Asapnya mengepul dari rahang bawahnya yang tegas, membubung ke atas dan menghampiri bola matanya. Ia mengerjapkan matanya yang perih dan memerah. Tapi ia menghisap lagi rokoknya, menerawang ke kehidupan di atasnya. Awan abu semakin tebal, seolah-olah berasal dari asap yang dihembuskannya. Sangat tebal, hingga tak tahan untuk jatuh, seperti mimpinya yang terjilid rapi bertahun-tahun, ternyata hanya kertas kosong.

Ia menyalakan sebatang rokok lagi, menghisapnya lebih dalam. Ia terbatuk-batuk. Asap rokoknya berlarian keluar dari mulutnya. Ia menghirup udara sebentar sambil melirik puluhan puntung rokok yang berpencar pasrah di bawahnya. Ia masih menghisap..Satu kali..Dua kali...sampai habis satu bungkus berikutnya. Udara mendung terasa panas, seperti matanya. Lidahnya getir, seperti hidupnya. Angin membelai tubuhnya yang kaku, turut bersimpati. Ia tidak peduli. Racun rokok memang melukai tubuhnya, mengikis paru-parunya. Ia tidak peduli, sekalipun terkapar saat itu juga.

Tapi, kekuatan itu melawan. Luka hatinya menggerogoti bagian lain, terus melebar dan kehabisan darah. Ia berusaha tidak peduli. Ia mulai bernyanyi, suaranya sumbang. Ia melukis di lantai dengan abu rokok, angin menghamburkannya. Dan ia tidak akan pernah mungkin tidak peduli.